Proses Terjadinya Perkawinan Menurut Adat Pepadun
Oleh : Andri Yantomi
Terjadinya perkawinan menurut adat lampung pepadun yang penulis kutip dari buku lampung pepadun dan saibatin yg disusun oleh Sabaruddin S A melalui dua cara, yaitu rasan sanak dan rasan tuho. Adapun penjelasan dari kedua cara yang disebut diatas adalah sebagai berikut:
1. Rasan Sanak
Perkawinan
rasan sanak ini terjadi atas kehendak kedua muda-mudi (muli-meghanai) dengan
cara berlarian (sebambangan) dimana si gadis dibawa oleh pihak bujang kepada
adatnya, kemudian diselesaikan dengan perundingan damai diantara kedua belah
pihak. Perbuatan mereka ini disebut “mulei ngelakai”. Apabila gadis yang pergi
berlarian atas kehendak sendiri maka disebut “cakak lakai/ nakat”. Dalam acara
pelarian ini terjadi perbuatan melarikan dan untuk si gadis dipaksa lari bukan
atas persetujuannya, perbuatan ini disebut “Tunggang” atau “ditangkep”.
Perbuatan
tersebut diatas merupakan sebuah pelanggaran muda-mudi dan dapat berakibat
dikenakan hukuman secara adat atau denda. Tetapi pada umumnya dapat
diselesaikan dengan cara damai oleh para penyimbang kedua belah pihak.
Tata
cara adat berlarian sampai dengan penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
a. Tengepik
b. Ngattak
Pengunduran Senjato atau Ngattak Salah
c. Bepadau
atau Bebalah
d. Manjau
Mengiyan dan Sujut
e. Pengadau
Resan dan Cuak Mengan
Penjelasan
berikutnya sebagai berikut:
a. Tengepik
Tengepik
artinya peninggalan, yaitu benda sebagai tanda pemberitahuan kepada sigadis.
Seorang gadis yang melakukan berlarian, biasanya meninggalkan tanda tengepik,
yaitu berupa surat dan sejumlah uang. Setelah si gadis sampai ditempat keluarga
pemuda, maka orang tua atau keluarga si bujang segera melaporkan kepada
penyimbangnya.
Penyimbang
segera mengadakan musyawarah menyanak untuk menunjuk utusan yang akan
menyampaikan kesalahan kepada keluarga si gadis tersebut “Ngattak Pengunduran
Senjato atau Ngattak Salah”.
b. Ngattak
Pengunduran Senjato atau Ngattak Salah
Pengunduran
Senjato atau Tali Pengunduran atau juga disebut Pengattak Salah adalah tindakan
yang dilakukan pihak kerabat bujang yang melarikan gadis dengan mengirim utusan
dengan membawa senjata (keris) adat dan menyampaikan kepada kepala adat pihak
gadis.
Ngattak
Pengunduran Senjato ini harus dilakukan dalam waktu 1x24 jam (bila jarak dekat)
dan 3x24 jam dalam jarak jauh atau diluar kota. Pengunduran Senjato harus
diterima oleh kepala adat gadis dan segera memberitahukan keluarga gadis serta
menyanak wareinya, bahwa anak gadisnya telah berada ditangan kepala adat pihak
bujang. Senjata punduk atau keris ditinggalkan ditempat keluarga gadis dan
senjata ini akan dikembalikan apabila terdapat kesepakatan antara kedua belah
pihak.
c. Bepadu
atau Bebalah
Biasanya
setelah pengunduran senjato disampaikan, beberapa orang penyimbang dan kerabat
dari pihak bujang datang kepada pihak keluarga gadis atau penyimbangnya dengan
membawa bahan-bahan makanan dan minuman atau mungkin hewan untuk
dipotong/disembelih.
Apabila
didapat berita bahwa pihak gadis bersedia menerima, pihak bujang untuk segera
mungkin mengirim utusan tua-tua adat pihak bujang untuk menyatakan permintaan
maaf dan memohon perundingan guna mencapai kemufakatan antara kedua belah pihak
serta agar sebambangan dapat diselesaikan dengan baik menuju kearah perkawinan.
Dalam
perundingan itu biasanya pihak keluarga gadis mengajukan syarat-syarat
perundingan, misalnya pihak keluarga gadis meminta agar dipenuhinya jujur atau
sereh pembayaran atau penurunan denda dan biaya-biaya lainnya.
d. Manjau
Mengiyan dan Sujut
Dari
pertemuan yang diadakan kedua pihak, maka apabila tidak ada halangan akan
diadakan acara manjau mengiyan (kunjungan menantu peria), dimana calon mempelai
peria diantar oleh beberapa orang penyimbangdan beberapa orang anggota keluarga
lainnya untuk memperkenalkan diri kepada orang tua gadis dan penyimbangnya.
Kemudian diadakan acara “Sujut” (sungkem) yaitu sujut kepada semua penyimbang tua-tua adat dan kerabat
gadis yang hadir. Biasanya dalam acara sujut ini dilakukan pemberian amai-adek
/ gelar oleh para ibu-ibu (bubbai) dari pihak keluarga gadis.
e. Pengadau
Rasan dan Cuak Mengan
Acara
pengadaw rasan yaitu mengakhiri pekerjaan, melaksanakan acara akad nikah dan
cuak mengan (mengundang makan bersama), dimana pada hari yang telah ditentukan
diadakan acara akad nikah kedua mempelai dan pihak keluarga bujang mengundang
para penyimbang, semua menyanak warei serta para undangan lainnya baik dari
pihak keluarga bujang maupun dari pihak keluarga gadis, untuk makan bersama
sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa telah terjadinya pernikahan.
Pada
saat yang sama pihak keluarga gadis menyampaikan atau menyerahkan barang-barang
bawaan atau sesan mempelai wanita. Namun ada kemungkinan dikarenakan ada
permintaan dari pihak gadis, maka acara menjadi besar, dimana mempelai wanita
“dimuleikan” (digadiskan kembali), artinya diambil kembali oleh pihak orang
tuanya untuk melaksanakan acara Hibal Serbo atau Bumbang Aji.
2. Rasan Tuho
Rasan
tuho (pekerjaan orang tua), yaitu perkawinan yang terjadi dengan cara “lamaran”
atau pinangan dari pihak orang tua bujang kepada pihak orang tua gadis. Rasan
tuho ini bisa juga terjadi karena sudah ada rasan sanak, yang kemudian
diselesaikan oleh para penyimbang kedua belah pihak dengan rasan tuho. Bentuk
perkawinan berdasarkan lamaran ini pelaksanaannya dapat secara adat, antara lain
Hibal Serbo atau Bumbang Aji.
a. Bumbang Aji
Acara
perkawinan Bumbang Aji termasuk upacara adat besar yang tidak lengkap, oleh
karena tidak diadakannya begawei balak atau cakak pepadun. Tata cara adat
penyimbang menyelesaikan bentuk upacara perkawinan bumbang aji ini adalah
sebagai berikut:
1. Berpadu
atau Bebalah
Para
penyimbang disertai beberapa orang anggota kerabat dari pihak keluarga bujang
datang ketempat keluarga gadis atau penyimbangnya, untuk membicarakan atau
berunding dalam rangka peminangan. Apabila pihak keluarga gadis menerima
pinangan dari pihak keluarga bujang, maka pembicaraan para penyimbang kedua
belah pihak berkisar pada masalah persyaratan biaya adat, acara adat, penentuan
tempat dan waktu perkawinan serta pelaksanaan pengambilan mempelai wanita.
2. Ngakuk
Majeu
Upacara
ngakuk majau artinya mengambil mempelai wanita. Dalam acara ini rombongan dari
pihak mempelai pria terdiri dari para penyimbang, keluarga ibu-ibu (bubbai) dan
bujang-gadis (mulei-menganai) datang ketempat kediaman pihak wanita dengan
membawa biaya adat yang berisi dau adat, sereb, beberapa nampan yang berisi
kue-kue, beberapa nampan yang berisi rokok, tembakau, sirih pinang, gambir dan
sebagainya. Mempelai peria juga ikut dalam rombongan ini dengan berpakaian
adat. Tetapi tidak langsung kerumah kediaman wanita, melainkan ditempatkan
dirumah penyimbang yang telah ditunjuk oleh perwatin pihak adat wanita.
Rombongan perwatin pihak pria diterima oleh pihak perwatin wanita dirumahnya.
Kemudian perwatin adat pihak pria mengemukakan maksut dan tujuan kedatangan
mereka dengan menyerahkan barang bawaan yang diterima oleh perwatin adat dari
pihak wanita. Penglaku pihak mempelai wanita menerima penyerahan barang-barang
bawaan, lalu menyerahkan mempelai wanita.
3. Menyambut
Majau
Kedatangan
kembali rombongan mempelai ketempat pria disambut pula dengan upacara adat.
Setelah kedua mempelai mencelupkan kakinya kedalam baskom air yang telah
disediakan, lalu keduanya masuk kedalam rumah untuk duduk “Tindih Sila” dan “Dipusek”
atau disuapkan nasi dan lauk pauknya oleh kaum ibu dari pihak warei, adik
warei, dan lebu kelamo. Selesai acara musek ini dilanjutkan dengan menerima
inai-adek atau gelar yang diumumkan oleh kaum ibu, kemudian mempelai diakad
nikahkan.
4. Sujut
Mengiyan
Beberapa
hari setelah akad nikah, dilaksanakan acara sujud mengiyan (sungkem menantu
peria) ketempat pihak wanita. Pada acara ini si pria diberikan amai-adek yaitu
panggilan dan gelar dari kerabat wanita.
b. Hibal Serbo
Hibal
atau ibal artinya “Pengambilan” Serbo artina jenis tertentu. Yang dimaksut
adalah cara pengambilan gadis menurut cara-cara adat dengan perundingan antara
perwatin adat kedua belah pihak berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang
berlaku. Tata cara adat penyimbang menyelesaikan dalam bentuk upacara
perkawinan hibal serbo ini adalah sebagai berikut:
Upacara
adat perkawinan hibal serbo, biasanya dimulai dengan acara “Kuwari Nunang” kuwari (perundingan),
nunang (bertunangan). Acara hibal serbo yang sempurna biasanya dimulai dari
acara mengikat tali pertunangan antara kedua calon mempelai, yang dilakukan
oleh keluarga dekat kedua belah pihak. Untuk itu yang mula-mula dilakukan
adalah mengirim utusan kepihak gadis. Para utusan ini membawa bahan-bahan
makanan, minuman, kue-kue dan hewan untuk disembelih.
Apabila
dalam pertemuan terbatas ini dicapai kata sepakat antara kedua belah pihak,
maka pihak keluarga peria “Ngejuk
Pemandai” (memberitahukan) kepada para penyimbang untuk menyampaikan niat
dan maksudnya, serta menyarankan pelaksanaan upacara kuwari (perundingan secara
resmi). Pada hari yang telah ditentukan, para penyimbang dari pihak pria datang
menuju ketempat keluarga wanita atau penyimbangnya membawa sereh penganten,
yaitu sirih pinang, gambir, rokok, tembakau, beberapa nampan berisi dodol,
beberapa nampan berisi kue-kue, seserahan uang jujur, biaya upacara, tempat dan
waktu pelaksanaan.
Selanjutnya
penyimbang kedua belah pihak masing-masing mengadakan pertemuan atau musyawarah
untuk mengatur persiapan-persiapan. Pihak keluarga pria menyiapkan semua
alat-alat perlengkapan adat dan upacara untuk ngakuk majau (mengambil mempelai
wanita), sedangkan pihak mempelai wanita, para penyimbangnya mempersiapkan
untuk menerima mempelai pria dan rombongannya serta mempersiapkan barang-barang
bawaan atau sesan.
Pada
hari yang telah ditentukan rombongan anak-anak pihak pria disambut oleh
anak-anak dari pihak wanita yang diatur dari sesat dan dipimpin oleh penyimbang
adat masing-masing. Pertemuan kedua rombongan ini diawali dengan dialog tanya
jawab tentang maksud dan tujuan kedatangan mereka. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa adat yang tersusun rapi dan sopan yang kadang-kadang diselipkan beberapa
sindiran. Setelah terdapat kata sepakat, jadi jalur bicara dari penyimbang pria
secara simbolis memotong “appeng”
(rintangan) dengan menggunakan puguk atau keris. Kemudian kedua rombongan
bergabung bersama menuju sesat (balai adat).
Puncak
acara ditempat mempelai wanita adalah acara “temu” diatas lunjuk atau patcah
aji oleh para “tualo anow” (isteri para penyimbang) yang hadir dan ditunjuk
oleh para penyimbang serta dirangkaikan dengan acara “musek” yaitu menyuapi
dedua mempelai. Kemudian dilanjutkan dengan mengumumkan pemberian gelar
amai-adek yang dilakukan oleh penglaku. Setelah itu dilakukan acara “pengadau
mulei” yaitu penyampaian kata perpisahan mempelai wanita terhadap orang tuanya,
keluarga, lebu, para penyimbang, para penglaku dan handai tolan yang hadir.
Acara
terakhir adalah acara “ngebekas” dimana orang tua atau perwatin adat dari pihak
mempelai wanita, menyerahkan mempelai wanita kepada ketua perwatin adat pihak
pria. Secara simbolis serah terima ditandai dengan penyerahan barang-barang
bawaan atau sesan mempelai wanita. Acara penyambutan ditempat mempelai pria dilakukan pula upacara kebesaran adat, yaitu acara
musek, dilanjutkan acara kughuk turun mandi dan cakak pepadun. Malam harinya dilakukan acara
“cangget” (tari menari adat) dan “ngedio” (seni suara klasik Lampung) serta sekaligus
mengumumkan atau mencanangkan “inai-adek” atau gelar oleh penglaku bertempat diatas lunjuk
atau patcah aji. Setelah rangkaian upacara selesai kedua suami-isteri telah terikat adat, karena sudah
berumah tangga. Sehingga harus mengikuti tanggung jawab dan hak mereka, termasuk tempat
tinggalnya dan mempelai wanita bertempat tinggal dikediaman mempelai pria sebagai panutannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar