25 September 2014

‘Peristiwa Rengasdengklok’, Penculikan atau Pengamanan?


16 Agustus 1945. Pagi-pagi buta, sekitar pukul 04.30 WIB, sekelompok pemuda revolusioner membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Di sana Bung Karno, Bung Hatta, dan pemuda merundingkan Proklamasi Kemerdekaan.

Menurut versi sejarah resmi, peristiwa itu adalah aksi pemuda “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta. Kejadian itu, katanya, merupakan buntut dari silang pendapat antara golongan tua versus muda mengenai Proklamasi Kemerdekaan.

Dalam versi sejarah resmi dikatakan, golongan tua terlalu kompromis dan hanya menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang. Sebaliknya, golongan muda menginginkan proklamasi segera dilakukan dan tidak rela kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang.

Bung Karno dan Bung Hatta dianggap representasi golongan tua. Sementara di golongan pemuda ada nama-nama seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie, Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain.

Saya pikir, ada beberapa hal yang janggal dari penjelasan sejarah ini. Dengan penggunaan kata “penculikan”, saya membayangkan pengambilan paksa dan penghilangan kemerdekaan si bersangkutan. Yang jadi pertanyaan, benarkah Bung Karno dan Bung Hatta dibawa paksa dan kehilangan kemerdekaannya?

Saya membaca buku Sidik Kertapati, Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik Kertapati adalah seorang aktor dari peristiwa itu. Dalam penjelasannya, Sidik Kertapati jelas-jelas menggunakan istilah “pengamanan tokoh nasional”. Menurutnya, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa keluar kota agar mereka terhindar dari Jepang dalam membicarakan tugas mereka yang historis, yakni Proklamasi Kemerdekaan.
Kenapa Rengasdengklot? Karena daerah itu sejak lama sudah menjadi pusat gerakan anti-fasis. Di sana, kata Kertapati, adan kelompok anti-fasis bernama “Sapu Mas”, yang dipimpin oleh seorang perwira PETA, Syudanco Umar Bahsan.

Kalau kita baca kronologi versi Sidik Kertapati, ketika pemuda berupaya membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota, tidak ada pemaksaan dan penghilangan kemerdekaan. Ketika itu, sekitar pukul 04.00 WIB, Bung Karno masih tertidur di kediamannya di Pegangsaan Timur 56 Cikini. Ia dibangunkan oleh Chaerul Saleh.

“Keadaan sudah memuncak. Kegentingan harus diatasi,” ujar Chaerul Saleh kepada Bung Karno. “Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap menghadapi kegentingan itu. Keamanan Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh pemuda dan karena itu supaya Bung Karno bersiap berangkat keluar kota,” tambahnya.

Ketika Bung Karno dan rombongan tiba di Rengasdengklot, para pemuda PETA menyambut dengan pekik “Hidup Bung Karno!”, “Indonesia Sudah Merdeka!”, dan lain-lain. Artinya, kalau penculikan, tak mungkin ada penyambutan seperti itu.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan di Asrama Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) di Tjikini 71. Sejumlah tokoh pemuda hadir, seperti Chaerul Saleh, Wikana, Aidit, Djohan Nur, Subadio, Suroto Kunto, dan lain-lain.

Hasil pertemuan itu: Kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui Proklamasi. Putusan tersebut akan disampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar mereka atas nama Rakyat Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan itu. Artinya, para pemuda menginginkan agar Proklamasi dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Dalam pertemuan itu juga, seperti diungkapkan Sidik Kertapati, Aditi mengusulkan agar Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden pertama Republik Indonesia.

Rapat itu kemudian mengutus Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto untuk menemui Bung Karno di kediamannya. Wikana bertindak sebagai Jubir pemuda. Utusan pemuda itu mendesak Bung Karno agar menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.
Menanggapi permitaan pemuda, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi kesempatan untuk berunding dengan pemimpin lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan.

Perundingan antar tokoh pemimpin berlangsung saat itu juga. Beberapa saat kemudian, Bung Hatta keluar menemui pemuda untuk menyampaikan hasil perundingan, bahwa usul para pemuda tidak bisa diterima karena dianggap kurang perhitungan dan akan memakan banyak korban jiwa.

Muncul pertanyaan lain: apakah bila Bung Karno menolak usulan pemuda, lantas niat proklamasi terhenti juga? Sidik Kertapati memberi jawaban. Menurutnya, kemungkinan tidak ikut sertanya Bung Karno dan Bung Hatta dalam aksi kemerdekaan sudah diperhitungkan. Sebagai alternatifnya: Proklamasi akan dilakukan melalui Presidium Revolusi. Artinya, para pemuda sudah punya Plan B. Hanya saja, memang, rencana sangat memungkinkan dengan aksi revolusioner dan kekuatan senjata.

Namun, justu dengan adanya penolakan awal oleh Bung Karno dan Bung Hatta terhadap proposal pemuda dan juga adanya plan B, saya berkesimpulan bahwa keputusan membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklot adalah upaya pengamanan. Meskipun, pada kenyataannya, proses diskusi dan perdebatan antara pemuda dan Bung Karno masih berlanjut di Rengasdengklot.

Versi Sidik Kertapati ini mirip dengan penjelasan Aidit. Juga pernyataan Jusuf Kunto, anggota PETA yang terlibat peristiwa itu. Kepada Mr Subardjo, Yusuf Kunto mengatakan, bahwa alasan mereka membawa Bung Karno dan Hatta adalah karena rasa kekhawatiran bahwa mereka akan dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul. Maklum, kata Yusuf Kunto, pada tanggal 16 Agustus 1945, pemudan dan PETA merencanakan melaksanakan aksi revolusi.

Dari cerita di atas, saya berusaha mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, inisiatif pemuda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklot bukanlah penculikan, melainkan pengamanan. Alasannya, pada tanggal 16 Agustus itu, pemuda merencanakan “Aksi Revolusi” untuk memproklamasikan kemerdekaan. Memang, pada kenyataannya, aksi revolusi itu tidak terjadi.

Kedua, perbedaan antara Bung Karno dan pemuda adalah soal kemerdekaan adalah soal cara. Bung Karno menginginkan Proklamasi Kemerdekaan tetap melalui jalur aman, yakni PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), demi menghindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban di kalangan rakyat Indonesia. Sedangkan pemuda menghendaki jalur aksi revolusi, yakni proklamasi kemerdekaan di tengah-tengah massa rakyat.

Proklamasi Kemerdekaan dilakukan tanggal 17 Agustus 1945 di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno atas nama Bangsa Indonesia. Bukan oleh PPKI—sesuai dengan keinginan pemuda.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com

10 September 2014

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG


ISLAM MASUK KE LAMPUNG LEWAT TIGA PENJURU

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (1)

PENGANTAR

SELAMA Ramadan 1431 Hijriah, Lampung Post menelusuri jejak masuknya agama Islam di Lampung. Penelusuran dimulai dengan menggelar diskusi terbatas bersama tokoh agama K.H. Arief Makhya dan K.H. Nurvaif Chaniago, dosen IAIN Raden Intan Dr. Fauzie Nurdin, Khairuddin Tahmid, M.A, dan dosen STAIN Metro Drs. M. Soleh. Lampung Post juga melakukan reportase ke berbagai peninggalan sejarah Islam yang tersebar di Lampung.


Barangkali, tidak semua orang mengetahui agama Islam masuk Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama. Dari arah barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara (Palembang) melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan dari arah selatan (Banten) oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhanmaringgai di Keratuan Pugung (1525).


Dari ketiga pintu masuk agama Islam itu, yang paling berpengaruh melalui jalur selatan. Ini bisa dilihat dari situs-situs sejarah seperti makam Tubagus Haji Muhammad Saleh di Pagardewa, Tulangbawang Barat, makam Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, dan makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan—diduga keduanya masih keturunan Sultan Hasanuddin dari Banten. Di Ketapang, Lampung Selatan, terdapat makam Habib Alwi bin Ali Al-Idrus.



Selain itu, menurut buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Lampung Buku II, terbitan DHD Angkatan 45 Lampung tahun 1994, halaman 49-53, disebutkan pada sekitar abad 18, sebanyak 12 orang penggawa dari beberapa kebuaian di daerah ini mengunjungi Banten untuk belajar agama Islam. Mereka adalah penggawa dari Bumi Pemuka Bumi, penggawa dari Buai Subing, Buai Berugo, Buai Selagai, Buai Aji, Buai Teladas, Buai Bugis, Buai Mega Putih, Buai Muyi, Buai Cempaka, Buai Kametaro, dan Buai Bungo Mayang.



Di Belalau, Islam dibawa empat orang putra Pagaruyung (Minangkabau). Sebelumnya, di wilayah ini telah berdiri sebuah kerajaan legendaris bernama Sekala Brak, dengan penghuninya suku bangsa Tumi, penganut animisme.



Bangsa Tumi mengagungkan sebuah pohon bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang. Konon, pohon ini memiliki dua cabang, satunya nangka dan sisi yang lain adalah sebukau, sejenis kayu bergetah. Keistimewaan pohon ini, jika terkena getah kayu sebukau bisa menimbulkan koreng dan hanya dapat disembuhkan dengan getah nangka di sebelahnya. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)



Sumber : Lampost Edisi 11 Agustus 2010



JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (2): Masuk lewat Budaya Setempat



MESKIPUN penyebaran agama Islam di Lampung dominan melalui selatan (Banten), bukan berarti bisa menjamah seluruh daerah di Lampung.



Hal itu juga terungkap dalam diskusi yang digelar Lampung Post dengan narasumber tokoh NU K.H. Arief Makhya, Ketua PW Muhammadiyah Lampung K.H. Nurvaif Chaniago, dua dosen IAIN Raden Intan Bandar Lampung Dr. Fauzie Nurdin dan Khairuddin Tahmid, M.A., serta dosen STAIN Jurai Siwo Metro Dr. M. Soleh, beberapa waktu lalu.



Dari utara, misalnya, Islam mudah masuk dari Pagaruyung (Minangkabau). Dari utara, Islam masuk dari Palembang melalui Komering.



Dari utara, Islam dibawa empat putra Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi. Fase ini menjadi bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Kedatangan keempat umpu ini merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/animisme.



Momentum ini sekaligus tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Empat putra Maulana Umpu Ngegalang Paksi adalah Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong.



Umpu berasal dari kata ampu tuan (bahasa Pagaruyung), sebutan bagi anak raja-raja Pagaruyung Minangkabau. Di Sekala Brak, keempat umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti empat serangkai atau empat sepakat.



Setelah perserikatan ini cukup kuat, suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan Perserikatan Paksi Pak.



Sedangkan penduduk yang belum memeluk Islam melarikan diri ke pesisir Krui dan terus menyeberang ke Jawa dan sebagian lagi ke Palembang.



Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan, pohon belasa kepampang yang disembah suku bangsa Tumi ditebang untuk kemudian dibuat pepadun. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan saibatin raja-raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunannya.



Ditebangnya pohon belasa kepampang ini pertanda jatuhnya kekuasaan Tumi sekaligus hilangnya animisme di Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat.



Islam juga erat kaitannya dengan adat dan



budaya Lampung. Sebagai cikal bakal masyarakat suku Lampung, Paksi Pak Sekala Brak memasukkan nilai-nilai keislaman dalam semua peristiwa dan upacara adat. Hampir tidak ada acara adat yang tidak berbau Islam. Mulai dari kelahiran anak sampai perkawinan dan kematian selalu bernuansa Islam.



Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri); juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya); nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu); nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis); sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Semua sifat itu fondasinya adalah islam.



Sedangkan pengaruh agama Islam dari arah (Palembang) masuk lewat Komering. Ketika itu, Palembang diperintah Arya Damar. Diperkirakan, Islam masuk dari utara dibawa Minak Kemala Bumi atau yang juga dikenal dengan nama Minak Patih Prajurit. Makamnya berada di Pagardewa, Tulangbawang Barat, bersebelahan dengan makam Tubagus Haji Muhammad Saleh dari Banten, yang juga tokoh penyebar agama Islam di daerah ini.



Dari selatan (Banten), Islam diperkirakan dibawa Fatahillah atau Sunan Gunung Jati melalui Labuhanmaringgai sekarang, tepatnya di Keratuan Pugung. Di sini, konon, Fatahillah menikah dengan Putri Sinar Alam, anak Ratu Pugung.



Dari pernikahan ini melahirkan anak yang diberi nama Minak Kemala Ratu, yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih dan menurunkan Radin Inten, pahlawan Lampung yang juga tokoh penyebar Islam di pesisir. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)



Sumber : Lampost Edisi 12 Agustus 2010



JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (3): Laksamana Cheng Ho Susuri Way Tulangbawang



SELAIN melalui jalur budaya, perdagangan juga ikut mewarnai masuknya Islam di Lampung. Salah satunya rombongan dari Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, berniaga dari Palembang dan menyusuri Way Tulangbawang.



Hal itu diungkapkan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Lampung K.H. Arief Makhya pada diskusi di kantor redaksi Lampung Post, awal Agustus lalu. Menurut dia, salah satu cara pengenalan dan penyebaran Islam di Lampung melalui para saudagar, termasuk rombongan dari Tiongkok.



Awalnya Islam masuk ke Indonesia pada abad VII Masehi Selat Malaka. Perdagangan saat itu menghubungkan Dinasti Tang di China, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat.



Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari China, India, Arab, dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang China, mulai dari periode Dinasti Tang (960—1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14—17 M).



Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M), dan Mas'udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya cengkih, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, katun, dan sutra.



Menurut sumber-sumber China menjelang akhir perempatan ketiga abad VII, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.



Jalur perdagangan ini kemudian disambung dengan tali perkawinan antara saudagar dan masyarakat setempat, atau bahkan keluarga kerajaan. Dari hasil perkawinan inilah yang membuat perubahan pada kerajaan-kerajaan di Sumatera.



"Salah satu penyebab banyak hilangnya situs-situs milik kerajaan di Sumatera karena dijual keluarga kerajaan kepada saudagar asing," kata Ketua PW Muhammadiyah Lampung K.H. Nurvaif Chaniago dalam diskusi itu.



Situs-situs sebelum Islam masuk berupa patung-patung sesembahan yang kemudian disingkirkan karena bertentangan dengan ajaran Islam. Berbeda dengan kerajaan di Pulau Jawa yang terus mempertahankan benda-benda budayanya, sebab memang Islam masuk sebagian besar melalui jalur budaya.



Barulah sekitar abad XIV perjalanan Laksamana Cheng Ho memasuki Way Tulangbawang dan berinteraksi dengan warga sekitar. Selain itu juga ada pintu masuk lain, yakni Labuhanmaringgai, terbukti ada beberapa daerah yang dinamai Lawangkuri di Gedungwani dari Sultan Banten. (MUSTAAN/E-1)



Sumber : Lampost Edisi 13 Agustus 2010



JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (4): Nisan yang Bercorak Kerajaan Samudera Pasai



SALAH satu pintu masuknya Islam ke Lampung dari bagian selatan sekitar abad XV. Saudagar yang berniaga di Malaka, tepatnya di Kerajaan Samudera Pasai, memberi pengaruh Islam di sana.



Ada dua jejak masuknya Islam dari arah Malaka itu, yakni adanya batu nisan di Lampung Selatan, yaitu di Kampung Muarabatang dan Wonosobo (sekarang Tanggamus, red). "Batu nisan ini mempunyai bentuk dan corak sama dengan nisan milik Malik Al Saleh di Pasai yang berasal dari tahun 1297," kata tokoh Nahdlatul Ulama Lampung, K.H. Arif Mahya.



Meskipun demikian, kata dia, umumnya orang berpendapat masuknya Islam ke Lampung dari arah Banten, di mana Sultan Hasanuddin Banten yang menurunkan generasinya pada Raden Inten II.



Selain itu, masih ada bukti lain yang menjadi jejak masuknya Islam itu. Tokoh masyarakat Kahuripan, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, Budiman Yakup, juga menguatkan pernyataan K.H. Arif Mahya itu.



Menurut dia, bukti lainnya itu berupa peta Kota Mekah dan baju adat bertuliskan aksara arab yang disimpan di Rumah Karya Niti Jaman di wilayah pesisir, tepatnya di Desa Condong, Kecamatan Rajabasa.



"Nisan kuburan tua di Palas itu buatan orang Aceh. Karena, nisan didatangkan langsung dari Aceh dan pada abad XV di Lamsel belum ada orang yang bisa buat nisan kuburan," kata Budiman yang beradok Raden Kusuma Yuda, Jumat (13-8).



Peninggalan abad XV sebagai pertanda Islam masuk ke sana antara lain Alquran bertulis tangan kuno dan Perjanjian Banten-Lampung. Perjanjian persaudaraan itu ditulis menggunakan bahasa arab. Selain itu, bukti lain adalah UU Adat atau Kuntara Raja Niti. Undang-undang ditulis dalam dua versi, yakni berbahasa Banten dengan aksara Arab dan bahasa Lampung dengan huruf ka-ga-nga.



"Dari silsilah bisa diketahui Ratu Dara Putih yang memerintah di Lampung dengan Sultan Hasanuddin pemerintah di Banten adalah kakak-adik," kata dia.



Walaupun keduanya hanya bersaudara seayah, kedekatan itu yang membuat masyarakat Lampung dan Banten tetap bersaudara. Hal ini membuktikan masuknya Islam ke Lampung tidak melalui peperangan. Pendekatan budaya adat istiadat, perkawinan, dan sumpah saudara atau ankonan, indaian, dan muarian. "Persaudaraan pada zaman dahulu diikat melalui sumpah," kata dia. (JUWANTORO/U-3)



Sumber : Lampost Edisi 14 Agustus 2010



JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (5)



Masjid Al-Anwar Pintu Islam di Pesisir



BANDAR LAMPUNG—Masjid Jamik Al-Anwar yang berdiri sejak 1839, bisa dikatakan sebagai salah satu pintu masuknya Islam dari pesisir Lampung. Masjid tertua yang terletak di Kelurahan Pesawahan, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung, ini mempunyai sejarah panjang perkembangan Islam di Sang Bumi Ruwai Jurai.



Menurut catatan sejarah yang tertuang dalam buku Risalah Masjid Jami Al-Anwar, sejak 1839 bermukim keluarga pendatang yang dari Bone, Sulawesi Selatan, bernama Daeng Muhammad Ali beserta dua sepupunya: Muhammad Soleh dan Ismail.



Keduanya dikenal menguasai ajaran Islam. Daeng Muhammad Ali atau Tumenggung Muhammad Ali (beristrikan wanita asal Lampung) dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu yang tinggi (sakti).



Perkembangan Islam di daerah ini bermula dari takluknya perompak atau bajak laut yang mengganggu perairan Teluk Lampung oleh Tumenggung Muhammad Ali. Perompak yang kalah dalam pertempuran kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang kini dikenal dengan Kampung Bugis.



Muhammad Soleh yang dikenal sebagai ulama Islam yang mumpuni, ditunjuk untuk mengajarkan syiar agama. Harapannya, dapat mengubah perilaku bajak laut menjadi orang yang baik. Lambat laun ajaran Islam yang disyiarkan Muhammad Soleh berkembang pesat, bahkan animo masyarakat di sekitar Teluk Lampung mempelajari Islam makin besar.



Melihat antusiasme masyarakat yang luar biasa, Muhammad Soleh memprakarsai pembangunan musala sebagai pusat kegiatan ajaran umat Islam. Pasalnya, kondisi rumah Muhammad Soleh yang sebelumnya menjadi tempat bagi masyara: kat menimba ajaran Islam, tidak mampu menampung masyarakat.



Pada 1839 berdiri musala pertama beratap rumbia, berdinding geribik, dan bertiang bambu. Musala ini yang kemudian menjadi cikal bakal Masjid Jamik Al-Anwar. Setelah bangunan musala tersebut, pembinaan dan pendidikan Islam yang disyiarkan Muhammad Soleh makin terkendali dan terpusat.



Namun, tragedi meletusnya Gunung Krakatau tahun yang mengakibatkan air pasang sangat tinggi, merendam dan menghanyutkan banyak bangunan di kawasan Teluk Lampung, termasuk bangunan musala yang dibangun pada 1839 itu. (*/R-3)



Sumber : Lampost Edisi Minggu 15 Agustus 2010

Dikutip Dari : http://wewarahblog.blogspot.com/

05 September 2014

Sekilas Tentang Masyarakat Adat Lampung pepadun

(Sumber foto: seandanan.files.wordpress.com/2009/12/lampung1.jpg)

Masyarakat adat Lampung Pepadun adalah salah satu dari dua kelompok adat besar dalam masyarakat Lampung. Masyarakat ini mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Berdasarkan sejarah perkembangannya, masyarakat Pepadun awalnya berkembang di daerah Abung, Way Kanan, dan Way Seputih (Pubian). Kelompok adat ini memiliki kekhasan dalam hal tatanan masyarakat dan tradisi yang berlangsung dalam masyarakat secara turun temurun.

Masyarakat Pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal yang mengikuti garis keturunan bapak. Dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi berada pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua, yang disebut “Penyimbang”. Gelar Penyimbang ini sangat dihormati dalam adat Pepadun karena menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Status kepemimpinan adat ini akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang, dan seperti itu seterusnya.

Berbeda dengan Saibatin yang memiliki budaya kebangsawanan yang kuat, Pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan demokratis. Status sosial dalam masyarakat Pepadun tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan. Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status sosial yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun diantaranya gelar Suttan, Raja, Pangeran, dan Dalom.

Nama “Pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan dalam prosesi Cakak Pepadun. “Pepadun” adalah bangku atau singgasana kayu yang merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Prosesi pemberian gelar adat (“Juluk Adok”) dilakukan di atas singgasana ini. Dalam upacara tersebut, anggota masyarakat yang ingin menaikkan statusnya harus membayarkan sejumlah uang (“Dau”) dan memotong sejumlah kerbau. Prosesi Cakak Pepadun ini diselenggarakan di “Rumah Sessat” dan dipimpin oleh seorang Penyimbang atau pimpinan adat yang posisinya paling tinggi

dikutip dari
 http://www.indonesiakaya.com